HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH-TANAH ADAT
DI MALUKU[1]
Jenny. K.Matuankotta
Pendahuluan
Sebagian besar kehidupan manusia bergantung
pada tanah karena tanah memiliki fungsi dan kedudukan yang sangat penting dalam
kehidupan manusia.Tanah merupakan komoditi yang mempunyai nilai ekonomi
yang tinggi. Tanpa tanah tidak mungkin ada berbagai aktivitas pembangunan baik
di bidang industri, perkebunan, pariwisata maupun infrastruktur lainnya.
Demikian pentingnya kedudukan tanah dalam
kehidupan manusia menyebabkan timbul berbagai persoalan tentang tanah di
Indonesia dewasa ini. Hal ini disebabkan oleh karena sensitifnya masalah
tanah dalam kehidupan bermasyarakat, yang bukan hanya sekedar menyangkut aspek
ekonomis dan kesejahteraansemata, akan tetapi mempunyai kaitan yang erat sekali
dengan masalah sosial, politis, yuridis, psikologis, kultural dan religius.
Diantara sekian banyak permasalahan yang
dihadapi berkenaan dengan soal tanah dewasa iniadalah berkaitan dengan
persoalan hak pengelolaan atas tanah-tanah adat yang t terletak dalam
lingkungan suatu masyarakat hukum adat, kadang-kadang terjadi benturan antara
masyarakat hukumadat setempat di satu pihak dan pemanfaatan tanah-tanah
untuk kepentingan investor atau kepentingan pemerintah.di pihak lain.
Masyarakat hukum adat di Maluku dengan hak atas tanah adatnya
(hak petuanan) masing-masing, diperkirakan telah ada dengan
hadirnya bangsa Portugis yang datang untuk mencari rempah-rempah dan berdagang
sekitar tahun 1512–1605 (ParamitaAbdurahman 1973). Masyarakat hukum adat (adatrecht
gemeenschap) tidak lain adalah kesatuanmanusia yang teratur,
menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasadan mempunyai
kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud, di mana paraanggota kesatuan
masing-masing mengalami kehidupan yang wajar menurut kodrat alamdan tidak
seorangpun di antara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderunganuntuk
membubarkan ikatan yang telah bertumbuh itu atau meninggalkan dalam
artimelepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.Masyarakat hukum
adat di Maluku dapat dipandang sebagai suatu kesatuan yang bulat karena
telah memenuhi unsure-unsur sebagaimana dikemukakan di atas.
Sementara itu wilayah/hak petuanan yang
dimaksud di sini, yaitu suatu konsep yang mengandung arti dan makna adanya
“wilayah” maupun “hak” di dalamnya, termasuk tata cara penguasaan dan
pengelolaannya menurut hukum adat masyarakat Maluku .
Konsep wilayah petuanan/ hak petuanan atau di
Indonesia sekarang lebih dikenal dengan nama hak ulayat, adalah hak masyarakat
hukum adat (hak komunal) atau persekutuan hukum adat atas tanah,
perairan, pemanfatan atas pohon-pohon yang tumbuh sendiri serta
binatang-binatang liar.
Bagi masyarakat Maluku, hak petuanan bukan saja di darat
(tanah), tetapi juga di laut dan kedua hak ini adalah sama pentingnya.
Namun demikian tidak ada kepastian tentang batas wilayah petuanan baik di darat
maupun di laut karena pengaturannya berdasarkan kebiasaan yakni batas alam yang
senantiasa berubah-ubah. Hak petuanan pada negeri-negeri yang terletak
dipesisir diakui meliputi wilayah darat dan wilayah laut. Pada wilayah
pesisir kebiasaan menetapkan batas juga berbeda-beda antara masyarakat pada
wilayah yang satu dengan yang lain. Di MalukuTengah umumnya kebiasaan
menetapkan tohorsebagai batas, yakni pertemuan air
biru/hitam dengan air dangkal. Di Maluku Tenggara beda lagi cara menentukan
batas di wilayah laut, yakni dengan mengikuti gejala alam pertemuan arus
tertentu dan jenis ikan tertentu.
Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, maka
pengaturan tentang hak-hak atas tanah harus pula memperhatikan keseimbangan
peran antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Peraturan yang ada
selama ini belum memberikan kekuasaan yang seimbang antar tingkat pemerintahan.
Dalam kaitan dengan ini juga perlu memikirkan otonomi komunitas masyarakat
hukum adat untuk dapat mengatur dan memanfaatkan tanah-tanah adat berdasarkan
hukum adatnya.
Keberadaan hak ulayat/hak petuanan di berbagai
daerah termasuk di Maluku,sering berhadapan dengan kebijakan pembangunan,
khususnya terkait dengan kebijakan daerah di bidang investasi (kehutanan,
pertambangan, pariwisata dan sebagainya) yang akhirnya menimbulkan konflik
antara masyarakat hukum adat dengan institusi pemerintah maupun dengan
investor.Konflik dan sengketa dimaksud semakin mudah terjadi ketika politik
hukum dari pemerintah untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat atas
tanah masih belum memadai.
Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam
,khususnya di darat (tanah),tidak dapat dipungkiri bahwa Maluku memiliki
potensi kekayaan alam yang luar biasa, baik yang merupakan hasil hutan, maupun
hasil tambang, yang jika pengelolaannya dilakukan secara baik dan
seimbang tentu akan mendatang kesejahteraan bagi masyarakat, bukan
justru sebaliknya di atas kekayaan sumber daya alam itu masih terdapat
masyarakat miskin. Masyarakat hukum adat di satu sisi memamg sedang mengalami
degradasi sehingga sering dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk kepentingan
yang menguntungkan pihak-pihak tertentu, bukan untuk kepentingan masyarakat
hukum adat yang ada. Oleh karenanya pemerintah daerah juga harus memperhatikan
hak-hak pengelolaan danpemanfaatan sumber daya alam yang berbasis
kepentingan masyarakat, sebagai proteksi terhadap sumberdaya alam yang
ada di wilayah petuanan.
Hubungan antara Masyarakat Hukum Adat dengan Tanah
Dalam masyarakat hukum adat,tanah merupakan benda yang sangat
penting, baik untuk keperluan pemukiman maupun untuk keperluan mata
pencariannya. Hubungan antaramanusia dengan tanah di Indonesia, senantiasa
diatur oleh hukum. Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan tanah di
Indonesia sebelum merdeka diatur oleh hukum adat di satu pihak dan hukum
Kolonial Belanda di lain pihak yang berpangkal pada Agrarische Wet
Staadblad 1870 Nomor 5. Setelah Indonesia merdeka, hubungan antara
manusia dan tanah,prinsip dasarnya ditetapkan di dalamPasal33 Ayat (3)
UUD 1945. Ketentuan ini kemudian dijabarkan lebih lanjut di dalam
Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.
Sebelum berlakunya UUPA No.5 Tahun
1960hubunganantaramanusia dengan tanah diwarnaiolehpandangan yang berpangkal
kepadapandangan terhadapmanusia sebagai mahluksosial. Pandangan ini bertitiktolak
kepadapandangan manusiasebagaimahluk sosial sekaligus sebagai mahlukciptaan
Tuhan Yang Maha Esa dalam hubungannya dengan pandangan terhadap tanah telah
memperlihatkan sebagai ciri khusus dalam hubungan antara manusia dengan tanah
di Indonesia (Ramli Zein, 1995: 9). Hukum adat sendiri memberi penilaian
dan penghargaan pada tanah sedemikian rupa sehingga tanah menjadi benda
istimewa dan mendapat perlakuan khusus dalam pengaturannya. .
Banyak hal yang
menyebabkan timbulnya hubungan yang sedemikian erat antara masyarakat
hukum adat di negeri-negeri di Maluku, dengan tanah,karena sifat dari
pada tanah itu sendiri sebagai suatu harta kekayaan yang dipandang bersifat
kekal karena tidak akan musnah dalam keadaan bagaimanapun juga. Dalam kaitannya
dengan hal demkian Ter Haar (2002 : 71) menjelaskan bahwa:
“Hubungan hidup antara manusiayang teratursusunannya dan bertalian satusamalain
di satupihakdan tanah dilainpihak. Tanah bagi masyarakat hukum adat
selain sebagai tempat manusia berdiam, tanah sebagai tempat usaha, tanah
juga penting untuk tempat pemakaman dan tempat roh para leluhur bersemayam yang
dipandang sebagai pelindung. Pertalian demikian dirasakan dan berakar dalam
alam pikiran serba berpasangan (participerend denken), sehingga
harus dipandang sebagai pertalian hukum (rechtsbetrekking) umat
manusia terhadap tanah.
Hubungan yang demikian
bukan hubungan yang bersifat yuridis semata, akan tetapi juga menunjukkan
hubungan yang bersifat magis religius. Hubungan yang erat dan bersifat
magisligius ini, menyebabkan masyarakat hukum adat memperoleh hak
untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari
tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah itu, juga berburu binatang-binatang
yang hidup disitu (Bushar Muhammad,2006: 103). Itulah sebabnya mereka
sangat bergantung pada tanah karena merupakan capital asset yang
dapat mensejahterakan kesatuan masyarakat hukum adat bersangkutan.
Hak masyarakat hukum
adat atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat, dan di dalam
literatur, hak ini oleh van Vollenhoven disebut beschikkingsrecht yang
menggambarkan hubungan antara masyarakat hukum adat itu dengan tanah. Dengan
hubungan yang erat antara masyarakat hukum adat dengan tanah
sedemikianitu, kemudian melahirkan penguasaan atas tanah-tanah adat.
Mertokusumo (1988: 149) mengatakan bahwa hak ulayat adalah :"Hak atas
tanah yang menjadi milik bersama masyarakat, yang merupakan hak tertinggi
kedudukannya. Hak ulayat mengandung dua unsur kepunyaan artinya semua anggota
masyarakat mempunyai hak untuk menggunakan dan unsur kewenangan yaitu untuk
mengatur, merencanakan dan memimpin penggunaannya. Kemudian karena semua
anggota masyarakat tidak mungkin melaksanakan pengurusan hak ulayat, maka tugas
tersebut dilimpahkan kepada kepala adat. Jadi dengan pelimpahan itu, kepala
adat berhak memberikan hak-hak atas tanah kepada perseorangan seperti hak
rnilik, hak yasan,hak pakai dan lain-lain”.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa menurut
konsepsi hukum adat, segala tanah yang ada dalam wilayah masyarakat hukum adat
yang bersangkutan ada dalam kekuasaan masyarakat itu sendiri. Hubungan
antara masyarakat adat dan tanah adalah laksana seorang tuan dengan bawahan
yang diperintah dan dikuasainya.
Eksistensi Tanah-tanah Adat di Maluku
Terhadap eksistensi hak ulayat/petuanan,
Hermayulis dalam Lokakarya Pemberdayaan Hak Masyarakat Hukum Adat
Mendukung Kegiatan Otonomi Daerah 21 Agustus 2008, menyatakan bahwa setidaknya
berkembang tiga pendapat tentang tanah ulayat, yaitu; tanah ulayat sudah tidak
ada, tanah ulayat masih ada, dan pendapat ragu-ragu yaitu tanah ulayat ada dan
tiada. Pendapat-pendapat tersebut umumnya berkaitan dengan kepentingan yang
terkandung di dalamnya.
Untuk mengetahui apakah tanah-tanah adat yang
berada dalam wilayah petuanan di Maluku masih ada atau tidak, tentunya harus
dilakukan penelitian. Hasil penelitian yang pernah dilakukan atas kerjasama
Fakulatas Hukum Universitas Pattimura dengan beberapa Pemerintah Kabupaten di Maluku
sejak tahun 2005, menunjukan bahwa tanah-tanah adat sebagai hak
petuananbesertahak-hak lainnya yang masuk dalam lingkup wilayah petuanan,
secara faktual masih eksis dan tetap dipertahankan oleh masyarakat hukum
adat di Maluku, walaupun eksistensi atas wilayah petuanan itu ada yang telah
berubah karena ada bagian tanah-tanah petuanan yang telah dikeluarkan dari
wilayah petuanan disebabkan oleh berbagai hal yang berkaitan dengan pembangunan
dan kebutuhan ekonomi masyarakat.
Asal mula penguasaan suatu petuanan, menurut sejarah masyarakat
setempat, adalah beragam dalam prosesnya di berbagai tempat atau pulau yang
berbeda, meskipun ada satu pola umum yang sama. Kedatangan orang=orang pertama
di suatu tempat tertentu, biasanya yang mengawali penguasaan atas suatu
wilayah petuanan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, orang-orang pertama ini
melakukan pembukaan suatu lahanuntuk rumah dan kebun, kemudian dilanjutkan
dengan pembukaan hutansekitarnya untuk perladangan daur ulang (shifting
cultivation), berburu, dan meramu hasilhutan. Kemudian mereka
meletakkan suatu tanda tertentu (biasanya tanda-tanda alam) pada titik-titik
terjauh yang dapat mereka capai dari pusat pemukiman. Dengan menarik garis
lurus dari yang menghubungkan semua titiktersebut, maka suatu garis batas
lengkap suatu petuanan negeri sudah tercipta.
Di Maluku Barat Daya, Maluku Tenggara Barat, Maluku Tenggara,
pada umumnya penguasaan atas tanah adat hanya ada pada NEGERI, SOA, dan
MATA RUMAH. Sementara itu tidak jauh berbeda dengan di Kabupaten lainnya,
penguasaan tanah adat di Maluku Tengah dan di P. Ambon umumnya mengenal tiga
bentuk hak atas tanah, yakni; tanah negeri/petuanan, tanah milik klen (fam)
atau tanah milik mata rumah (tanah dati)dan tanah milik
pribadi kepala keluarga (tanah pusaka). Dengan demikian hubungan masyarakat
hukum adat dengan tanah seperti ini adalah hubungan menguasai, bukan memiliki
secara perdata, artinya dimana mereka dapat menduduki tanah tersebut disitulah
mereka menguasai, dan memanfaatkannya secara kolektif. Konsep hak atas tanah
petuanan tidak dikenal adanya milik individual, dan kalaupun ada milik
individual, hak milik itu hanya atas tanah pekarangan yang sifatnya tidak
mutlak. Namun demikian, dalam perkembagan pembangunan dan kebutuhan ekonomi
masyarakat sekarang ini, tidak dapat dihindari terjadinya individualisasi hak
atas tanah-tanah adat di Maluku, sebagai contoh tanah dati, sebagai tanah
kerabat yang menurut normanya tidak boleh diasingkan atau dialihkan untuk
selamanya dalam pengertian di jual atau dihibahkan kepada orang/badan hukum
dari luar masyarakat hukum adat besangkutan, ternyata kini telah banyak yang
dialihkan kepemilikannya.
Hak Pengelolaan Tanah-tanah Adat di Maluku
Masyarakat hukum adat Maluku pada umumnya
sangat menghormati dan sadar pula bahwa sebidang tanah yang digarapsejak
leluhur adalah tanah adat yang dari padanya mereka hidup serta tunduk pada
aturan-aturan adat yang mengikat.
Bagi masyarakat hukum adat Maluku, kampung halamanatau negeri
memang bukan hanya tempat berdirinya rumah, pekarangan dan ladang, tetapi juga
seluruh benda yang ada di atasnya (hutan, bukit, lembah, sungai dan laut)
ataupunyang ada di bawah tanah. Seluruh wilayah itu adalah petuanan (dari kata
“tuan” atau “pemilik”), sehingga kata petuanan selalu disebutkan dengan nama
pemilik, misalnya petuanan negeri Hutumuri, suatu negeri terletak di wilayah
kota Ambon. Dengan menyebut “negeri” itu berarti suatu petuanan adalah milik
bersama masyarakat hukum adat setempat. Negeri selalu mengandung makna komunal,
dan petuanan selalu merupakan konsep kepemilikan bersama atas suatu wilayah
komunal pula. Secara singkat, konsep dasar kepemilikan tanah (dan laut)
tradisional di Maluku, pada hakekatnya adalah suatu konsep pemilikan bersama
masyarakat hukum adat setempat. Berdasarkan konsep ini, maka masyarat hukum
adat Maluku, kemudian mengembang satu konsep khas tentang pengelolaan
sumber daya alam dalam wilayah petuanan mereka sesuai dengan pola-pola hubungan
sosial dan kekerabatan yang juga khas setempat. Menurut Roem Topatimasang
(dalam Ton Dietz,2005: 105) di Maluku Tengah, di mana struktur sosial relatif
lebih setara (egaliter)dengan satu sistem kepemimpinan dan pemerintahan desa
yang hanya terbatas pada satu negeri (desa) saja, pengelolaan sumberdaya alam
setempatpun relatif lebih sederhana dibanding daerah lain di Maluku. Proses
pengambilan keputusannya dapat dilakukan lebih cepat dan ringkas, misalnya
cukup hanya dengan mendengarkan pendapat dan saran-saran dari semua perwakilan
marga atau soa yang ada. Di Maluku Tenggara khususnya di Kepulauan
Kei, prosesnya agak berbeda karena masih berlakunya pelapisan
sosial atas dasar kelas (kasta) yang cukup rumit. Pengelolaan
sumberdaya alam menjadi lebih rumit karena tidak hanya melibatkan satu negeri
saja, tetapi juga melibatkan proses-proses politik lokal dengan struktur
kekuasaan majemuk persekutuan (federasi) beberapa negeri yang disebut Ratcshaap.
Akibatnya proses pengambilan keputusan tersebut menjadi lebih lama, dan
seringkali menghasilkan ketegangan dan ketidakmerataan bahkan ketidakadilan
pembagian hasil diantara mereka sendiri.
Satu ciri yang sama di Maluku adalah dalam sistem
pengelolaan sumberdaya alam yang didasarkan atas dasar prinsip manfaat bersama
dan saling timbal-balik (reciprocitas) untuk menjaga
keseimbangan alam sekitar yang disebut sasi. Sasi adalah
suatu ketentuan hukum adat yang melarang keras siapapun untuk mengambil sesuatu
di alam sekitar, darat maupun laut, pada suatu masa tertentu dalam rangka
menjamin kelestariannya. (Roem Topatimasang, 2005: 108).Contoh-contoh sasi
dalam bentangan wilayah darat misalnya sasi ewang (hutan), sasi dusun
sagu, sasi kelapa (untuk menjaga kelestarian bahan
pangan setempat). Di beberapa tempat juga diberlakukan semacam “sasi abadi”
untuk kawasan hutan primer yang dikeramatkan (sacred forests, ancestral
sites), termasuk “sasi abadi” hutan bakau, bahkan termasuk “sasi abadi”
untuk jenis satwa liar yang dikeramatkan, seperti semua jenis ular, biawak, dan
tikus hutan di Pulau Ta, Tanimbar Kei, Maluku Tenggara.
Penutup
Masyarakat hukum adat di Maluku beserta
hak-hak atas tanah-tanah adatnya terbentuk dalam suatu proses sejarah yang
panjang, hingga sampai sekarang masih tetap eksis dan dipertahankan. Mereka
juga pada umumnya sangat menghormati dan sadar pula bahwa sebidang tanah yang
digarapsejak leluhur adalah tanah adat yang dari padanya mereka hidup serta
tunduk pada aturan-aturan adat yang mengikat. Tanah-tanah adat yang
dikenal sebagai tanah petuanan pada hakekatnya adalah suatu konsep
pemilikan bersama masyarakat hukum adat setempat. Berdasarkan konsep ini, maka
masyarat hukum adat Maluku, kemudian mengembangkan satu konsep khas
tentang pengelolaan sumber daya alam dalam wilayah petuanan mereka sesuai
dengan pola-pola hubungan sosial dan kekerabatan yang juga khas setempat yang
disebut sasi.
Keberadaan hak ulayat/hak petuanan serta hak
pengeloaannya, di berbagai daerah di Maluku,sering berhadapan atau
berbenturan dengan kebijakan pembangunan, khususnya terkait dengan kebijakan
daerah di bidang investasi (kehutanan, pertambangan, pariwisata dan sebagainya)
yang akhirnya menimbulkan konflik antara masyarakat hukum adat dengan institusi
pemerintah maupun dengan investor.Konflik dan sengketa dimaksud semakin mudah
terjadi ketika politik hukum dari pemerintah khususnya pemerintah daerah untuk
melindungi hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah masih belum memadai.
Oleh karenanya dibutuhkan politik hukum daerah yang memadaimengatur
hak-hak pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berbasis
kepentingan masyarakat, sebagai proteksi terhadap sumberdaya alam yang
ada di wilayah petuanan,serta upaya-upaya mempertahankan hak-hak tradisional
mereka atas sumberdya alam tersebut.Untuk itu,Perda Provinsi Maluku No.3 Tahun
2008 tentang Petuanan Negeri, perlu di ikuti oleh perda-perdayang sama pada kabupaten/kota
di Maluku.
DAFTAR BACAAN
Abdurachman, Paramita
R, R.Z. Leirissa, C.P.F Luhulima,Bunga Rampai Sejarah Maluku (I)
Lembaga Penelitian Sejarah Maluku, Jakarta, 1973.
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat,
Pradnya Paramita, Jakarta, 2006
Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam
sitem UUPA, Rineka Cipta, Jakarta, 1995
Roem Topatimasang, Pemetaan Sebagai Alat
Pengorganisasian rakyat Sejarah dan Politik Sengketa Sumberdaya Alam dan
Hak-hak Kawasan Masyarakat Adat di Maluku, dalam Ton Dietz, Pengakuan Hak Atas
Sumberdaya Alam Kontur Geografi Lingkungan Politik, Insist Press, 1994.
Mertokusumo
dan Iswanto, Pendaftaran Hak Atas Tanah Menurut UUPA, Karunika,Jakarta
1988.
Ter Haar
Bzn, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat (Terjemahan
K. Ng. Soebekti Poesponoto), Pradnya Paramita , Jakarta, 2002.
[1] Tulisan
ini diterbitkan dalam sebuah buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG
DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas
Pattimura Tahun 2013), 2013
Sumber : https://fhukum.unpatti.ac.id/lingkungan-hidup-pengelolaan-sda-dan-perlindungan-hak-hak-adat/263-hak-pengelolaan-atas-tanah-tanah-adat-di-maluku
Tidak ada komentar: